”Saudara-saudara, kita sebenarnya tidak perlu
memperingati atau merayakan tahun baru. Yang perlu kita lakukan adalah
menumbuhkan tekad atau komitmen untuk punya semangat baru. Kita harus rayakan
semangat baru itu pada tahun baru ini. Ya, semangat untuk punya rasa mandiri,
tidak minder sebagai bangsa yang besar dengan potensi alam yang besar. Jangan
kita rendah diri. Kita harus punya keberanian untuk percaya diri di depan
bangsa-bangsa di dunia. Jangan sampai kita kalah dengan negara tetangga kita,
yang kecil bahkan kebutuhan airnya saja itu harus ngimpor tetapi punya percaya
diri yang besar. Kita harus bersatu untuk sukses hidup.” Abdullah Gymnastiar
Hari demi hari berlalu, demikian juga minggu, bulan,
dan tahun. Tak terasa kita sudah berada di tahun baru umat Islam 1433H, tahun
dimana harus meningkatnya seluruh kegiatan, perbuatan, dan amal kita kepada
yang lebih baik dari yang sebelumnya. Kita pun selalu mendengar dalam sebuah
hadist yang dikatakan, “Barangsiapa yang harinya lebih baik dari yang kemarin,
maka dia beruntung, barangsiapa yang harinya sama dengan hari yang kemarin maka
ia merugi, barangsiapa yang harinya lebih jelek dari yang kemarin, maka dia
celaka.”
Kita, baik secara individu maupun masyarakat, dalam
hari-hari yang telah berlalu itu, senantiasa mengisi lembaran-lembaran yang
setiap tahun kita tutup untuk kemudian membuka lagi dengan lembaran-lembaran
baru pada tahun berikutnya. Lembaran-lembaran itu adalah sejarah hidup kita
secara amat rinci. Itulah kelak yang akan disodorkan kepada kita untuk dibaca
dan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT pada hari kiamat nanti. “Bacalah
kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.”
(Al-Israa’: 14), kemudian Allah SWT pun berfirman dalam surat Al-Jaatsiyah ayat
28, “Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut, tiap-tiap umat
dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi
balasan terhadap apa yang Telah kamu kerjakan.”
Oleh karena itu sebaiknya kita mengetahui bahwa
keimanan terhadap penghisaban pada hari kiamat mewajibkan disegerakannya
koreksi diri dan persiapan diri. Kita pun seringkali mendengar, “Hisablah
dirimu sebelum kamu dihisab.”
Allah SWT juga berfirman dalam surat Al-Anbiyaa’ ayat
47, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah
dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji
sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat
perhitungan.”
Dan barangsiapa menghisab dirinya termasuk waktu-waktu
yang dipergunakan dan apa yang ia pikirkan, niscaya akan ringan kesedihan yang
harus ditanggung di hari kiamat nanti. Tetapi barangsiapa tidak menghisab
dirinya, maka kekallah kesedihannya dan menjadi banyak pemberhentiannya di hari
kiamat. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan
bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Ali ‘Imran: 200)
Setelah kita mengetahui dan kita melihat segala
kekurangan dalam diri kita, maka kita harus ingat selalu terhadap firman Allah
SWT dalam surat Ar-Ra’d ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.”
Begitulah bunyi sebuah ayat yang menafikan secara
tegas ketentuan sejarah dan secara tegas pula sikap terdalam manusia sebagai
penentu sejarah. Dari sini dapat dipahami mengapa para Nabi memulai langkah
mereka dengan menanamkan kesadaran terdalam dalam jiwa ummat. Dari mana kita
datang? Kemana kita akan menuju? Bagaimana alam ini terwujud dan ke arah mana
ia bergerak? “Semua dari Allah dan akan kembali kepadaNya” dan “Akhir
dari segala siklus adalah kembali ke permulaan,” demikian para filosof
muslim merumuskan.
Itulah kesadaran pertama yang harus ditanamkan pada
manusia. Kemudian disusul dengan kesadaran jenis kedua yaitu kesadaran akan
kemanusiaan manusia serta kehormatannya. Ruh Ilahi dan potensi berpengetahuan
yang diperoleh makhluk dari Tuhan, mengundang untuk memanusiakan dirinya,
dengan jalan mengaktualkan pada dirinya sifat- sifat Ilahi sesuai
kemampuannya. Dan kesadarannya ketiga akan tanggung jawab sosial.
Nah, kalau manusia atau masyarakat mampu mengisi
hari-hari yang berlalu dalam hidupnya atas dasar kesadaran diatas, maka
disanalah dia akan memperoleh kebahagiaan abadi. Dengan ini semua dan dengan
pergantian tahun hijriah ini mari kita merubah mulai dari diri kita sendiri,
karena adalah mimpi bisa merubah apapun dengan baik tanpa diawali merubah diri
sendiri, kita perbaiki diri sendiri berarti kita mulai memperbaiki segalanya.
Selanjutnya mulai dari hal yang terkecil, karena tak ada prestasi besar,
kecuali rangkaian prestasi kecil dan mudah. Kemudian mari kita mulai dari saat
ini juga, janganlah menunda, karena belum tentu ada hari esok, keberuntungan
kita adalah kebaikan yang kita laksanakan saat ini. Wallahu a’lam bishowab